TANGERANG
RAYA,korantangsel.com- Prabowo mengawali karier militernya pada
tahun 1970 dengan mendaftar di Akademi Militer Magelang.
Ia lulus pada tahun 1974, satu tahun setelah Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia saat ini.
Pada
tahun 1976 Prabowo bertugas sebagai Komandan Pleton Grup I Para Komando Komando
Pasukan Sandhi Yudha (Kopassandha) sebagai bagian dari operasi
Tim Nanggala di Timor Timur, saat itu dia berumur 26 tahun
dan merupakan komandan termuda dalam operasi Tim Nanggala. Prabowo memimpin
misi untuk menangkap Nicolau dos Reis Lobato, wakil ketua Fretilin yang
pada saat itu juga menjabat sebagai Perdana Menteri pertama Timor Timur. Dengan tuntunan Antonio Lobato
yang merupakan adik Nicolau Lobato, kompi Prabowo menemukan Nicolau Lobato
di Maubisse, lima puluh kilometer di selatan Dili.
Nicolau Lobato tewas setelah tertembak di perut saat bertempur di lembah
Mindelo pada tanggal 31 Desember 1978.
Pada
akhir tahun 1992, Xanana Gusmao berhasil ditangkap
dalam operasi yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Prabowo. Informasi
mengenai keberadaan Xanana Gusmao diperoleh dari sadapan telepon Ramos Horta di pengasingan.
Di
Kopassus, pada tahun 1983, Prabowo dipercaya sebagai Wakil
Komandan Detasemen 81
Penanggulangan Teror (Gultor) Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Setelah menyelesaikan pelatihan Special Forces Officer Course di Fort Benning, Amerika Serikat, Prabowo diberi tanggungjawab
sebagai Komandan Batalyon Infanteri Lintas Udara. Pada tahun 1995, ia sudah
mencapai jabatan Komandan Komando Pasukan Khusus, dan hanya dalam setahun sudah
menjadi Komandan
Jenderal Komando Pasukan Khusus.
Penyelamatan
Mapenduma, Salah satu pencapaian Prabowo saat menjadi pimpinanKopassusadalah Operasi
Pembebasan Sandera Mapenduma. Saat itu, 12 peneliti disekap
oleh Organisasi Papua Merdeka.
Pada gambar ini, Prabowo menyalami salah satu peneliti yang berhasil
dibebaskan.
Pada
tahun 1996, Komandan Kopassus Prabowo Subianto memimpin operasi
pembebasan sandera Mapenduma. Operasi ini berhasil menyelamatkan
nyawa 10 dari 12 peneliti Ekspedisi
Lorentz '95 yang disekap oleh Organisasi Papua Merdeka(OPM). Lima orang
yang disandera adalah peneliti biologi asal Indonesia, sedangkan 7 sandera lainnya
adalah peneliti dari Inggris, Belanda dan Jerman.Namun, operasi ini dikritik karena
menggunakan lambang Palang Merah pada helikopter putih
untuk menipu anggota OPM.
Pada
tanggal 26 April 1997, Tim Nasional Indonesia ke Puncak Gunung Everestberhasil mengibarkan bendera
merah putih di puncak tertinggi dunia setelah mendaki melalui jalur
selatan Nepal. Tim yang terdiri dari anggota Kopassus,Wanadri, FPTI, dan Mapala UI ini
diprakarsai oleh Komandan Jenderal Kopassus,
Mayor Jendral TNI Prabowo Subianto. Ekspedisi dimulai pada tanggal 12 Maret
1997 dari Phakding, Nepal.
Pengamanan
1998, Sebagai Pangkostrad yang membawahi pasukan
cadangan ABRI yang jumlahnya cukup besar pada waktu itu (sekitar 11 ribu
prajurit), Prabowo dimintai pertolongan oleh Panglima Kodam Jaya untuk
mengamankan Jakarta yang berada dalam suasana kacau. Permintaan
ini dipenuhi Prabowo dengan membantu mengamankan sejumlah bangunan penting,
khususnya rumah dinas Wakil Presiden B.J. Habibie di Kuningan.
Meskipun
akhirnya perannya ini kemudian menimbulkan kontroversi, namun ia juga mengambil
beberapa langkah penting yang menentukan arah reformasi pada waktu itu. Antara
lain ia berhasil membujuk Amien Rais untuk membatalkan rencana
doa bersama di Monas. Ia juga bertanya kepada Habibie mengenai
kesiapannya jika sewaktu-waktu Soeharto turun, apakah siap menjadi Presiden,
yang memberi sinyal kepada Habibie untuk bersiap menggantikan Soeharto.
Selain
itu pada 14 Mei 1998, Prabowo berinisiatif mengadakan
silaturahmi dengan beberapa tokoh reformis seperti Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi,
Rendra, Bambang Widjajanto, dan lain-lain. Ia juga sempat didesak untuk
memainkan peran seperti Suharto pada tahun 1965, yang secara tegas ditolaknya karena merasa
bahwa masih berada di bagian bawah jenjang protokoler kepemimpinan dalam masa
genting, berbeda dengan peran Suharto waktu itu yang memungkinkan untuk
mengambil kendali karena kosongnya kepemimpinan TNI selama hilangnya para
jendral. Selain itu, ia menyatakan tidak ingin kudeta terjadi karena hanya akan
menimbulkan kudeta-kudeta lainnya.
(korantangsel.com,
ayla & berbagai sumber)