BISNIS, korantangsel.com- Manisnya ceruk pasar ekspedisi di Indonesia memang masih
prospektif, kebutuhan yang terus meningkat diikuti pula dengan bertumbuhnya
perusahaan jasa ekspedisi dalam negeri maupun asing . Salah satu perusahaan
ekspedisi lokal yang juga ikut merasakan segarnya berbisnis jasa kurir adalah
PT. Eka Sari Lorena (ESL).
Managing Director (ESL), Johannes Silalahi
mengungkapkan, dari tahun ke tahun tingkat kebutuhan masyarakat akan jasa
pengiriman barang terus meningkat khususnya melalui jalur darat. Jika
dikalkulasikan, setiap bulan ESL mampu mengangkut 1.700 ton yang dikirim ke
seluruh wilayah di Indonesia.
“Menjelang lebaran dan akhir tahun,
perusahaan kargo mengalami peningkatan permintaan. Untuk itu, kami melayani
pengiriman paket melalui jalur darat, laut dan udara. Namun, pelayanan melalui
jalur darat memiliki porsi terbesar dalam kemajuan bisnis ini, karena nilai
ekonomis menjadi keuntungan bagi kami.
“Sejauh ini kami sudah melayani wilayah
Sumatera, Jawa, Bali dan Madura yang menggunakan jalur ekspedisi angkutan
darat, sedangkan wilayah Sulawesi, Kalimantan, Papua dan pulau lain kami akses
melalui udara,” jelas Johannes.
Johannes menambahkan, untuk mendukung
bisnis ini, kami menyediakan lebih dari 238 kendaraan operasional dan 450
armada Lorena group. Walaupun bisnis ekspedisi tidak dimiliki oleh ESL saja,
Johannes mengklaim bahwa perusahaannya mampu bersaing dengan perusahaan lain.
Faktor kecepatan, inovasi serta kreatifitas dalam berbisnis ekspedisi menjadi
kunci untuk tetap menjadi yang terdepan.
“Untuk kecepatan pengiriman melalui jalur
darat kami berani diadu. Standard kami seperti bus malam Lorena, prinsipnya
satu kali enam jam barang yang sudah berada di kantor agen harus sampai kepada
alamat yang dituju,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, di bawah kepemimpinan
Johannes, dirinya menargetkan tumbuh 30 persen setiap tahunnya. Namun ia
mengungkapkan, target itu bisa dicapai jika pemerintah bisa mengatasi kondisi
infrastruktur seperti jalan rusak, kapal feri yang kurang baik, kemacetan lalu
lintas yang menjadi penghambat bagi para pebisnis ekspedisi.
“Jika kondisi ini tidak diatasi
secepatnya, waktu tempuh kami lebih lama dijalan dan konsekuensinya ada biaya
tambahan yang kami keluarkan. Sedangkan kondisi keamanan saat ini sudah lebih
membaik dibanding 15 atau 10 tahun lalu,” jelas Johannes.
Tak kalah dengan kondisi di darat,
ekspedisi dengan jalur udara terasa membebani perusahaan kargo dengan
pemberlakuan Regulated Agent (RA). Walaupun biayanya terlihat
kecil, sekitar Rp 400 rupiah, tapi itu sangat terasa jika harus dilakukan
setiap hari.
Ia berharap untuk industri ekspedisi mampu
disesaki oleh pemain lokal. “Local player kita tumbuh pada bisnis jasa ini.
Sesulit apapun kondisi ekonomi kita jangan sampai kita menjadi tamu di negeri
sendiri,” pesannya mengakhiri.
(korantangsel.com-Farhan)