BISNIS,korantangsel.com-Dari sisi kualitas, produk dalam
negeri cukup unggul dibanding produk asing sejenis. Namun sejuta permasalahan
mendera, membuat produk dalam negeri dijauhi. Tingginya biaya produksi, bahan
baku yang mahal, serta beberapa regulasi yang mengambang, membuat daya saing
produk dalam negeri menjadi rendah.
Yusman Novyanto, Direktur PT. Karbon Indo Niaga selaku anak
perusahaan sekaligus
distributor dari produsen Calcined
Petroleum Coke (CPC)
Indonesia mengatakan, ikut campur
tangan pemerintah untuk mengurai
persoalan yang menghambat daya
saing industri baja nasional
harus segera diatasi.
“Selaku produsen CPC yang bergerak di industri hulu baja, kami
mendukung penuh adanya pertumbuhan industri baja dalam negeri dengan cara
memberikan kualtas produk CPC yang baik, guna mendukung industri dalam negeri
sehingga produk baja kita mempunyai added
value serta memiliki harga
yang lebih kompetitif untuk bersaing di dunia internasional,” katanya.
Diungkapkannya, perusahaan baja di Indonesia selama ini masih
menggunakan CPC atau carbonriser impor yang di antaranya berasal dari
Cina atau India, yang harganya tentu jauh lebih murah dibaning carbonriser lokal buatan dalam negeri. Yusman
mengungkapkan, hal ini dapat di atasi dengan cara adanya dukungan pemerintah
untuk meringankan harga bahan baku CPC berupa material petroleum coke.
“Kami berkomitmen mendukung kemajuan industri dalam negeri. Di
mana kami pun menggunakan raw
material dari dalam negeri,
namun harga yang diperoleh juga cukup tinggi. Sehingga hal tersebut menjadi
kendala kami dalam menentukan strategi bisnis di dalam persaingan dengan pasar
impor,” jelas Yusman.
Yusman menuturkan, seharusnya pemerintah turut serta mendorong
industri CPC dalam negeri, salah satunya dengan memberikan harga yang rendah
untuk bahan baku yang dihasilkannya. Dengan tujuan khusus penggunaan dalam
negeri., diakuinya bahan baku untuk industri CPC yang dihasilkan di dalam
negeri memiliki kandungan sulfur cukup rendah yaitu hanya 0,4 sampai 0,5
persen, yang berarti lebih ramah lingkungan apabila digunakan jika dibanding
produk impor yang memiliki kandungan sulfur tinggi yaitu antara dua sampai lima
persen.
Standar Nasional Indonesia
Penerapan standar nasional Indonesia (SNI) pada industri baja
yang belum optimal, memperparah kondisi industri baja semakin tidak kompetitif.
Jika penerapan SNI pada industri baja sudah efektif, maka produsen baja pasti
akan memenuhi standarisasi dari rangkaian proses produksi yang disyaratkan.
Namun karena pola pikir produsen yang ingin menurunkan biaya produksi, maka
terdapat beberapa proses yang tidak dilakukan, diantaranya adalah penggunaan CPC tersebut.
Penghentian ekspor raw material seperti bijih besi
diharapkan mampu menumbuhkan kembali gairah industri hulu baja dalam negeri.
“Tahun 2014 kemungkinan iron ore sudah tidak dapat di ekspor, ini
menjadi peluang bangkitnya industry hulu baja dalam negeri dengan masuknya
investor untuk pembangunan iron
ore smelter di Indonesia,”
harap Yusman.
Senada dengan itu, Direktur Industri Material Dasar Logam
Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur, Budi Irawan menargetkan,
pertumbuhan industri baja mampu mencapai 10 persen pada kuarta II 2013 meski
terjadi perlambatan karena ada lebaran. “Kami targetkan permintaan baja mencapai 10 juta ton untuk tahun
ini,” ujarnya.
(korantangsel.com - Farhan)