BISNIS,korantangsel.com- Pertumbuhan penduduk Indonesia meningkat, permintaan terhadap rumah kian
melonjak. Diperkirakan lonjakan kebutuhan rumah hingga 15 juta unit pada tahun
2014.
Deputi Bidang Pengawasan Kawasan Kementrian Perumahan Rakyat (Kemenpera),
Agus Sumargiarto mencermati peningkatan kebutuhan rumah akibat peningkatan
jumlah penduduk Indonesia. Hal ini memicu terjadinya backlog penyediaan
rumah bagi masyarakat dari berbagai kalangan, termasuk yang berpenghasilan
rendah.
Sebagai informasi, backlog perumahan saat ini telah
mencapai 800.000 unit rumah.
Program keluarga berencana (KB) yang digalakkan pemerintah, diharapkan
mampu mengurai tingginya backlog perumahan.
“Seperti yang diharapkan, program keluarga berencana harus berjalan seiring
dengan usaha yang dilaksanakan Kemenpera dalam rangka pembangunan perumahan dan
kawasan pemukiman,” terang dia.
Banyaknya data yang dilansir berbagai instansi akan kebutuhan rumah, pihaknya
berharap data pasti mengenai jumlah kebutuhan rumah yang sebenarnya. “Tahun
depan diperkirakan jumlahnya bisa lebih dari 15 juta unit rumah. Jadi perlu
data pasti antara BKKN dan BPS mengenai jumlah kebutuhan rumah yang
sebenarnya," ungkap Agus.
Ditengah tingginya backlog perumahan yang terjadi,
pemerintah melalui Kemenpera kembali menggulirkan kenaikan batas harga rumah
bersubsidi sesuai permintaan pengembang. Menteri Perumahan Rakyat, Djan Faridz
mengungkapkan, rencana kenaikan akan terjadi untuk seluruh wilayah di
Indonesia, khususnya Jabodetabek. Dirinya mengkhawatirkan penurunan pasokan
rumah bersubsidi jika batas harga tidak disesuaikan.
Pengembang berharap, penyesuaian harga rumah bersubsidi naik sekitar 30
persen dari harga yang berlaku. Sesuai implementasi Undang-Undang No.1/2011
tentang perumahan dan kawasan pemukiman, UU tersebut mengamanatkan pembangunan
rumah harus tipe 36 meter persegi dan harga Rp 88 juta dinilai tidak mencukupi
biaya pembangunan rumah tipe tersebut. Artinya dari harga Rp 88 juta sampai
Rp145 juta per unit akan naik menjadi Rp 114,4 juta sampai Rp 188,5 juta,
sedangkan untuk wilayah Jabodetabek dari sebelumnya Rp 95 juta menjadi Rp125
juta.
Asosiasi pengembang beralasan, kenaikan harga dibutuhkan lantaran biaya
pembangunan mengalami kenaikan akibat kenaikan TDL, BBM, upah pekerja dan biaya
tanah yang mahal. Seperti diungkap Ketua DPP Real Estate Indonesia, Setyo
Maharso, menurutnya harga rumah yang seharusnya dijual Rp 95 menjadi Rp 100
juta saja banyak peminatnya.
“Pengembang merasa sulit jika harus menjual rumah tapak bersubsidi
dengan batas harga yang berlaku sekarang. Agar masyarakat berpenghasilan rendah
(MBR) tetap bisa memiliki rumah, kami minta kenaikan 30 persen,” cetusnya.
Sementara Ketua Lembaga Pengkajian Pengembangan Perumahan dan Perkotaan
Indonesia, Zulfi Syarif Koto berpendapat, dengan batas harga yang ditetapkan
saat ini sebenarnya pengembang sudah memperoleh keuntungan. Kenaikan harga BBM
tambahnya, tidak terlalu signifikan terhadap biaya pembangunan rumah.
Dia juga mempertanyakan kepastian MBR Rp 3,5 juta per bulan mampu membeli
rumah seharga Rp 125 juta. “Karena saat rumah dijual seharga Rp 95 juta
masyarakat belum mampu menyerap secara maksimal,” ujarnya. Berbagai
sumber
(korantangsel.com-id)