KESEHATAN,
korantangsel.com- Fibrilasi atrium (FA) atau gangguan irama jantung, mungkin
belum banyak diketahui masyarakat awam. Padahal, selain penyakit jantung
koroner ada gangguan pada jantung yang cukup berbahaya dan membutuhkan biaya
yang tidak sedikit dalam penanganannya, yaitu aritmia jantung atau gangguan
listrik jantung, dan kondisi ini bisa berakibat fatal, salah satunya
menyebabkan stroke.
Dr.dr.Sunanto, SpJP, Spesialis Jantung Pembuluh Darah Siloam
Hospitals Lippo Village mengatakan, orang yang memiliki FA berisiko lima kali
lipat terkena stroke dibanding yang tidak memiliki gangguan irama jantung. Sebab, denyut
jantung yang terlalu cepat atau terlalu lambat, menyebabkan gangguan aliran
darah, sehingga mudah timbul bekuan darah yang bias memicu penyumbatan, dan
salah satu risiko yaitu stroke.
Ia menambahkan, pada penderita atrial fibrilasi, terjadi ketidak
teraturan denyut jantung dan proses pemompaan darah dari atrium ke ventrikel
yang tidak sempurna, cenderung mengakibatkan terjadinya pengumpulan dan
penggumpalan darah di dalam atrium. Apabila gumpalan darah ini sampai terlepas
dan terbawa sampai ke otak, maka gumpalan darah ini bisa menyumbat pembuluh
arteri di otak dan mengganggu pasokan darah ke otak.
“Satu dari enam serangan stroke disebabkan oleh gangguan irama
jantung, dan FA salah satu faktor risiko tertinggi dan cepat menyebabkan
stroke. Bahkan serangan stroke biasanya lebih berat, dan waktu penyembuhannya
lebih lama,” kata Sunanto.
Mengenai gejala dan tanda atrial fibrilasi, Sunanto menjelaskan,
atrial fibrilasi tidak memberikan tanda dan gejala yang khas dan spesifik pada
perjalanan penyakitnya. Biasanya penderita atrial fibrilasi pertama kali
merasakan gejala berupa, peningkatan denyut jantung, dan ketidakteraturan irama
jantung. Namun, pada kasus-kasus yang mengganggu hemodinamik seperti gangguan
tekanan darah dan frekuensi denyut jantung, terkadang penderita akan merasakan
pusing, kelelahan sampai sesaak napas.
“Prevalensi FA pada usia 40 sampai 60 tahun sekitar 0,2 persen,
dan meningkat seiring bertambahnya usia. Pada usia di atas 80 tahun risikonya
bisa mencapai 15 sampai 40 persen. Untuk itu, guna mengdiagnosis irama jantung
diperlukan pemeriksaan EKG, USG jantung, tes treadmill, MRI, CT Scan, katerisasi
jantung, operasi bedah jantung hingga pemasangan alat rekam jantung,” tutupnya.
(korantangsel.com,dini)